Dumb and Dump

Being dumb dan being dumped. Kejadian baru-baru ini membuktikan bahwa 'being dumb' adalah disengaja bukan genetika. Ini bukan masalah IPK atau titel sarjana. Being dumb adalah sebuah pilihan hidup. Sosial media dijadikan ajang dramatisasi sebuah kebodohan. Alih-alih berkaca, malah menyuruh orang lain untuk berkaca. 
    
Berbuat salah itu manusiawi, tapi yang paling penting adalah introspeksi. Bukannya mengikuti zat kimiawi yang mengarah ke duniawi yaitu sibuk cari empati. Sebuah simpati dari orang lain dianggap cari mati padahal simpatinya datang dari hati, murni. Itulah pentingnya introspeksi. Kamu mungkin butuh sendiri merenungi. 

Menjadi dewasa itu dulu impian setiap remaja. Setelah mengalami, penuh sensasi & improvisasi. Namun sepertinya dia hanya mencari sensasi karena belum imunisasi. Pun yang 'being dumped'. Jadi korban seseorang yang belum imunisasi itu memang sulit. Seharusnya menyarankan untuk segera mendapat vaksin, tapi itu tadi, sensasi.

Sensasi diharapkan mampu membuat cinta yang terkhianati bersemi kembali. Padahal butuhnya vaksin, bukannya kesempatan yang tidak matang. Itu bukannya mengobati tapi malah mungkin akan kembali terkhianati, lagi. Ada konslet antara rasa & logika. Terlalu terbuka pada rasa lalu lupa pada logika.

'Being dumped' memang bukan rasa yang nikmat. Rasa-rasanya masih terlalu terbawa. Terlalu banyak rasa sehingga kesempatan kembali dibuka. Semoga kesempatan yang dibuka menganga itu bukan luka yang akan kembali menganga karena lupa introspeksi dan menelaah simpati dari hati dan juga karena merindukan sensasi & improvisasi dari manusia yang belum imunisasi. Semoga bisa berhati-hati karena vaksin pun ada yang palsu. Ojo kesusu .. 

Comments

Popular Posts